Bagai Robusta tanpa Gula


Kita terlahir putih bersih tanpa noda dan dosa. Bagai kertas yang putih seolah tidak tahu apa yang akan dilakukan di hari esok. Kita akan segera memulai kerasnya dunia, menegakkan perintah-Nya untuk menjalani hidup ini di jalan yang terbaik.

Kotaku tiba-tiba menjadi kota hujan dalam seminggu terakhir. Setiap hari aku diajak oleh alam semesta untuk menghitung gerimis ditemani beberapa hidangan ringan di meja kerjaku. Prinsipku, bekerja tidak harus diluar rumah, bekerja tidak harus mengotori tangan, dan bekerja tidak mewajibkan memakai seragam yang sama dengan teman sekitarku.

Orangtua tidak pernah memaksakan kehendaknya kepadaku. Aku tidak dipaksa menjaga gengsi mereka ketika anaknya memiliki posisi kerja yang tinggi di sebuah perusahaan. Mereka juga tidak menyuruhku bekerja Senin-Jumat dari pagi hingga sore hari, mengabdi di Pemerintahan seperti impian orangtua teman-temanku. Mereka akhirnya tidak pernah punya rencana untuk berdandan rapi dari subuh hari untuk menghadiri acara wisuda dari sebuah Universitas. Ya! Mungkin banyak orangtua akan melakukan hal itu ketika ingin menghadiri tambahan gelar di belakang nama anak-anak mereka.

Aku hanya salah satu mantan siswa lulusan Sekolah Menengah Atas. Tidak pernah merasakan bangku kuliah namun sering ke kampus untuk bertemu rekan sejawatku disana. Aku hanya seorang penulis amatiran. Penulis yang belum pernah memiliki buku apalagi sampai dijadikan sebuah film seperti Andrea Hirata hingga Raditya Dika. Menulis hanya sebagai cerita yang siapa tahu bisa menjadi kenangan yang masih ada walaupun kontrak hidupku dengan Sang Pemberi Nyawa sudah berakhir.

Goresan ceritaku sederhana. Hanyalah sebuah cerita hidup dimana setiap harinya kita selalu melewati jalan yang sama namun akan bertemu hal-hal yang berbeda. Apa yang terjadi hari ini, dimanapun itu, ingin sekali kucurahkan dalam secarik kertas sehingga aku akan terus ingat bahwa banyak hal penting di sekitarku yang terlewatkan. Namun aku menulis kisah itu dalam sebuah aplikasi pengolah kata di laptopku.

Aku hidup dari orangtua dan keluarga yang pas-pasan. Pas-pasan dalam arti sebenarnya. Banyak temanku yang hidup pas-pasan juga. Namun itu adalah istilah untuk orang yang memiliki uang dengan nomor seri yang berurutan hingga ratusan lembar. Pas mau beli mobil, pas ada uangnya. Mau jalan-jalan ke luar negeri, pas juga si Ayah punya paket wisata sekeluarga.

Aku sangat beruntung bisa hidup pas-pasan. Bagaimana tidak? Jika aku harus hidup dengan keluarga pas-pasan dalam istilah bukan sebenarnya tadi, aku tidak akan merasakan rasanya bekerja keras. Fisik dan pikiran ditempa untuk saling berkolaborasi menghasilkan keringat dan kebanggaan ketika merasakan hasilnya. Jerih payah menjadi teman, susah senang menjadi sebuah kebiasaan setiap harinya dan terik matahari sudah terbiasa menyoroti ujung rambut hingga kakiku. Itulah yang pernah kurasakan dahulu. Sekarang aku hanya menikmati masa remajaku di depan laptop. Menjadi seorang penulis dan programmer.

Kali ini aku akan menulis beberapa kisah hidup yang kujadikan novel pribadi di dalam folder laptopku. Cerita seperti ini adalah andalan dari sebagian besar penulis untuk mendapatkan sebuah karya. Seorang komposer dan pencipta lagu pun sangat mengandalkan jalan cerita seperti ini untuk menghasilkan lantunan-lantunan musik yang indah dan dapat diterima pencintanya dengan mudah. Apalagi kalau bukan sebuah kisah cinta. Kisah cinta seorang remaja menjadi trending topic setiap harinya di lingkungan kita. Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga. Begitulah kalimat pertama salah seorang pencipta lagu cinta memulai karyanya.

Kisah ini berawal dari sebuah pengalaman ketika aku untuk pertama kalinya merasakan segelas kopi. Dari kecil aku tidak pernah punya pengalaman dengan minuman yang identik dengan warna hitam ini. Aku bukan pencinta kopi dan bukan pula perokok. Ingin hidup sehat namun bobot badanku hanya 46 kilogram. Sakit pernapasan akhirnya dapat dihindari karena aku bukan seorang perokok namun sakitnya mencari ukuran baju kemeja sudah sangat sering dialami. Begitulah nasib seorang yang memiliki ukuran badan dibawah standar. Ah, sudahlah. Yang penting tetap manis. Hmmm.

Masa remaja adalah masa transisi antara ingin terbuai dalam kisah-kisah indahnya atau terus melanjutkan kerja keras (di depan laptop) karena selalu ingat bahwa aku hidup dari keluarga yang pas-pasan dalam arti sebenarnya. Selama ini aku hidup seperti lebah. Ketika lapar, aku akan keluar dari sarang dan mencari tambahan energi. Teman-temanku sudah mengerti apa yang dibutuhkan jika aku berada di luar rumah. Sumber listrik, meja yang lapang dari gelas dan barang lainnya wajib mereka sediakan. Sudah barang tentu itu adalah lahan parkir laptopku.

Malam itu di sebuah warung kopi, aku bersama temanku menghabiskan waktu. Dari sekian banyak kegiatan yang aku lakukan di warung kopi, rata-rata aku hanya ingin mencari inspirasi. Makanya aku jarang ke luar rumah kecuali pikiranku buntu dan butuh tempat yang nyaman berimajinasi. Pastinya memilih tempat yang agak menepi dari keramaian. Apalagi jika ada tulisan free wifi, maka akan menjadi destinasiku ditemani laptop dengan ayunan jari jemari.

Suasana malam itu cukup sepi. Ada sekelompok orang di sebuah meja yang berbicara seolah berbisik. Mungkin sedang membicarakan bisnis ratusan juta atau jual beli tanah kavlingan. Ada pula yang menggunakan headset di telinganya sambil tertawa sendiri dengan sinar laptop yang memantul di wajah kusamnya. 

Tak lengkap pada malam itu jika tidak memesan segelas minuman hangat. Temanku bertanya, "Mau pesan apa?" Baru pertama kalinya juga aku menjawab, "Terserah". Ya.. ya.. yaaa... Ternyata jawaban itu dijadikan bahan lelucon mereka. Mereka tertawa mendengar jawabanku.

“Bang, Robusta tanpa gula, 5 gelas ya!” kata mereka.

Sambil menunggu si seniman Barista menghidangkan 5 gelas pesanan tadi, tak jauh dari mejaku ada 3 perempuan yang menurutku lumayan cantik. Ternyata dunia luar itu menyenangkan. Pantas saja si 4 orang pria lajang yang sombong di mejaku ini sangat rajin nongkrong di tempat seperti ini. Ada pemanis alami tanpa bahan pengawet yang menemani lirikan mata-mata genit mereka. 

Malam itu kotaku sangat cerah. Aku tak lagi dipaksa untuk menghitung butiran gerimis dari balik jendela ruang kerjaku di rumah hingga matahari berganti peran dengan satelit bumi. Angin malam kurasakan malam ini. Tidak terasa 5 gelas pesanan mereka sudah terhampar di mejaku.

“Silahkan menikmati hidangan dari kami malam ini, wahai seniman kata-kata.” Kata mereka sambil ketawa-ketiwi melihatku.

Siapa yang tidak curiga maksimal dengan 4 orang jahil ini. Aku sudah bersiap dengan apa yang terjadi denganku pada malam ini. Kuambil gelas itu dan kuarahkan ke bibir yang tidak seksi ini.
Aaahhhhhhh! Ini kopi atau jamu tradisional??? Pahit sekali rasanya. Apakah ini efek lidah yang sudah terbiasa dengan teh manis sehingga kopi pun terasa sangat pekat di lidahku? Mereka berempat seolah mendapatkan sebuah hiburan Stand-Up Comedy dari komika kelas wahid di Indonesia. Tak kusangka lelucon ini sampai ke meja seberang. Ketiga perempuan manis tersebut melirik kepadaku dan memberikan senyuman simpul. Pastinya aku tidak gede rasa. Mereka tersenyum bukan karena memberikan perhatian lebih kepadaku. Sudah pasti gara-gara jebakan robin dari 4 pria pengangguran ini.

Tidak terasa hari Rabu sudah ingin berganti peran dengan Kamis. Aku pun pulang ke rumah dengan 2 perasaan. Kesal dengan temanku dan rasa senang karena dapat senyuman dari 3 perempuan walaupun itu adalah kalimat “Emang enak dikerjain sama teman-temanmu” dalam balutan senyum simpul.

Malam itu menjadi awal kisah cintaku. Mungkin anda akan menebak ini adalah awal mula kisah cintaku bersama salah satu dari ketiga perempuan di kafe tadi. Anda salah sangka! Ini adalah kisah cinta pada tegukan pertama Robusta. Dengan seteguk rasa pahit tersebut, aku mendapatkan sebuah kisah baru yang luar biasa. Aku akan berterima kasih kepada Robusta karena mengajarkanku coretan baru yang dapat kubagikan kepada orang lain.

Aku mendapat inspirasi dari kejadian Robusta. Kopi ini mengajarkanku bahwa sebuah minuman tidak hanya dapat dinikmati dengan rasa yang manis. Banyak sekali yang menikmati hidup dengan kisah-kisah manis di sekitarku. Mereka seolah tidak pernah kesusahan akan bertahan hidup dan membahagiakan orang-orang tercintanya. Tapi apakah kita pernah berpikir berapa banyak bayaran kredit setiap bulan yang mengejar mereka. Berapa seringnya debt collector menelepon ketika melewati jatuh tempo.

Aku teringat dengan seorang satpam sebuah Bank yang pernah bercerita pengalaman “lucu” kepadaku ketika berteduh karena hujan di ruangan 2x2 meter miliknya. Ia bercerita dengan bangganya kepadaku tentang posisinya sebagai Satpam di Bank itu.

“Saya pernah iri dengan para petinggi Bank ini, Mas. Mereka datang dengan mobil mewahnya dan saya bertugas membukakan pagar untuk mereka. Datang dan pulang dengan mobil mewah tanpa debu jalanan, bekerja dalam ruangan ber-AC dan pastinya memiliki penghasilan yang sangat besar. Enak ya jadi mereka.” Cerita si bapak tersebut.

“Kenapa bapak berkata “Pernah Iri”? Maksudnya?” tanyaku penasaran.

Sambil tersenyum ia melanjutkan ceritanya.

“Suatu hari, ada salah satu dari mereka berkeluh kesah kepada saya di pos ini. Mereka mengeluh akibat beban pekerjaan yang dialami setiap hari. Tekanan dari target setiap bulan membuat mereka cukup tertekan. Penyejuk ruangan pun tidak terasa dingin karena panasnya pikiran jika belum memenuhi target bulanan.” Lanjutnya.

Terus, apa yang membuat bapak akhirnya bangga “hanya” menjadi Satpam di Bank ini?” tanyaku kembali.

“Di akhir pembicaraan, ia berkata seperti ini kepada saya, Mas. Enak ya jadi Bapak. Kerjanya hanya membukakan kami pagar setiap pagi dan sore. Tiap hari bisa menikmati udara segar yang alami, tanpa memikirkan target-target bulanan yang membuat ruangan dingin seolah tak berdaya menyejukkan pikiran kami. Enak ya jadi satpam.

Ah, cerita itu sangat menyentuhku. Orang susah sepertiku selalu berpikir pasti enak jadi orang kaya. Namun ternyata dibalik cerita indah mereka dimataku, mereka juga selalu berpikir akan hidup lebih nyaman dari yang mereka kerjakan saat ini.

Aku dan Satpam tersebut memilih hidup seperti Robusta tanpa gula. Kami menikmati hidup ini walaupun dalam keadaan pahit. Kami bisa membeli gula. Kami juga tidak susah untuk membeli sekaleng susu cair. Tapi kami memilih Robusta asli tanpa embel-embel rasa lainnya. Biarlah susu hanya ditemani gula dan air panas tanpa harus mengganggu Robusta kami.

Inilah sebuah cerita hidup. Dimana manusia dilahirkan putih bersih tanpa noda dan dosa. Tanpa target dan tangggung jawab. Identik dengan selembar kertas putih. Namun ketika sudah dewasa, mereka tidak bisa menghindar dengan pena hidup untuk membuat sebuah kisah dalam kertas putih itu. Mereka akan dihadapkan dengan banyak pilihan. Ada yang dituntut untuk hidup seperti Robusta. Pahit, namun tetap dapat dinikmati. Namun itu bukanlah rasa yang baku. Anda bisa menambahkannya dengan gula ataupun susu. 

Aku memilih hidup seperti ini. Hidup tanpa target dari orang lain. Tapi bukan berarti aku tidak akan bertanggung jawab dengan peranku sebagai suami, ayah dan kakek dari generasiku nanti dimasa depan. Aku tidak akan melarang anak-anakku kelak untuk menggunakan toga dan akhirnya aku harus menghadiri pesta dalam suka cita ribuan mahasiswa. Mereka memiliki kertas putih masing-masing. Mereka lah yang menulis ceritanya sendiri. Hidup ini pilihan, dan aku memilih hidup seperti Robusta tanpa gula. Memang pahit, namun sangat nyaman kunikmati.

~ Selesai ~ 
 
 
Blog Post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar

"Komentar yang baik akan menunjukkan pribadi yang baik pula."

Terima kasih telah berkunjung dan membaca tulisan ini. Bantu SHARE yaa jika berkenan. Silahkan centang beri tahu saya untuk berinteraksi lebih lanjut di kolom komentar.

Salam hangat,
Leemindo.com